Kisah Nabi Nuh kali ini akan menceritakan tentang perjalanan Nabi Nuh sebagai seorang Nabi Allah dan perahu penyelamatnya dalam menghadapi banjir besar yang menenggelamkan kaumnya, termasuk diantaranya anaknya sendiri. Dalam Islam, Nuh adalah nabi ketiga yang wajib diimani. Beliau adalah keturunan kesembilan dari Nabi Adam yang hidup sekitar 4000 tahun yang lalu. Ayah Nuh bernama Lamik bin Metusyalih bin Idris (Nuh cucu Nabi Idris). Nabi Nuh diutus Allah Swt untuk berdakwah ke negeri Armenia. Pada masa itu, penduduk Armenia sebagian besar berperilaku buruk. Kejahatan merajalela, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya memeras yang miskin. Selain itu, mereka juga penyuka sesama jenis alias homo dan lesbi. Singkat kata, kemaksiatan terjadi di mana-mana.
Penduduk Armenia benar-benar telah sesat. Mereka sudah jauh menyimpang dari ajaran Nabi Idris. Lebih parah lagi, penduduk Armenia asyik dalam perbuatan syirik. Mereka tidak lagi beribadah kepada Allah. Tuhan mereka telah berganti menjadi patung-patung yang bernama Wadd, Suwa, Yagust, Yatuq, dan Nasr. Demikian, nama patung-patung itu. Penduduk Armenia percaya, patung-patung itu bisa memberi kebaikan. Patung-patung itu bisa menolak keburukan. Sungguh bodoh memang menjadi penyembah patung. Tak ada patung yang bisa bicara, apalagi memberi. Lucunya, patung-patung itu dibuat oleh mereka sendiri. Mestinya, yang membuat itu lebih mulia daripada yang dibuat.
"Siapa yang membuat patung-patung itu?"
"Jelas kami dong"
"Mana yang lebih baik, yang membuat atau yang dibuat? Mana yang lebih mulia, patung atau manusia? Patung-patung tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan memberi, bergerak saja tidak bisa."
"Kami hanya mengikuti para leluhur. Mereka telah melakukan ini bertahun-tahun. Buktinya, mereka hidup makmur. Mereka bisa kaya raya."
"Allah adalah Penguasa alam semesta. Perhatikan langit, matahari, bumi, bulan, bintang, air, hewan, dan tumbuhan. Semua diciptakan-Nya. Patung-patung itu tidak bisa menciptakan. Patung-patung itu ada sesudah alam ini ada."
"Hai, Nuh, jangan sok pintar! Kamu ini nggak ada apa-apanya. Harta tak seberapa. Pengikut kamu juga hanya orang-orang miskin," teriak seseorang dengan berang.
"Jangan menggurui! Kami tak butuh nasihat! Kami tahu apa yang harus kami lakukan. Jadi, nggak usah berlagak di depan kami," tambah yang lain.
"Hai, Nuh," kata seseorang, "jangan sok suci! Kamu hanya manusia biasa, sama seperti kami. Kamu makan, kami juga makan. Lalu, apa kelebihan kamu? Mestinya, yang diutus itu malaikat, bukan kamu."
Dengan sabar, Nabi Nuh menjawab, "Saudara-saudara, harta bukan tolak ukur kemuliaan. Buat apa kaya kalau jahat."
"Dasar gila! Rupanya, Nuh ini sudah tidak waras," ucap seseorang. Jari tangannya menyumbat telinga. Yang lain menutup baju ke muka. Mereka tidak mau lagi mendengar omongan Nabi Nuh.
"Aku hanya menyampaikan peringatan. Sadarlah! Kembalilah ke jalan yang benar. Jika tidak, kalian pasti mendapat hukuman di dunia. Belum lagi, siksaan di akhirat kelak."
"Hai, Nuh, Jangan mengoceh saja! Datangkan saja azab itu. Kami tidak takut, kok."
"Aku hanya seorang rasul. Tugasku hanya menyampaikan. Selebihnya terserah kalian. Jika berkeras kepala, Allah akan menghukum kalian. Hanya Dia yang berkuasa menimpakan siksaan."
Selama 950 tahun Nabi Nuh tinggal bersama penduduk Armenia. Sekian lama, ia berdakwah siang malam menyeru kaumnya. Namun, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Hanya beberapa orang yang mau beriman. Jumlah mereka tidak lebih dari seratus orang. Itupun berasal dari kalangan orang-orang miskin. Padahal, ia berdakwah siang malam, yang beriman tak jua bertambah. Segala cara telah dicoba. Kadang berdakwah secara terbuka, juga secara sembunyi-sembunyi. Demikian, Nabi Nuh mengetuk hati kaumnya. Namun, ia selalu bersikap tegas. Terutama dalam menghadapi para pembesar yang congkak. Kekayaan dan pengaruh mereka tak membuatnya silau. Nabi Nuh tetap merasa percaya diri. Secuil pun tak ada perasaan minder.
Pernah beberapa pembesar menemui Nabi Nuh. Mereka mau beriman, tapi dengan satu syarat. Nabi Nuh harus mengusir orang-orang miskin yang menjadi pengikutnya. Alasannya, orang-orang miskin itu tidak selevel dengan mereka. Masa mereka harus bergaul dengan orang-orang kumuh. Tawaran itu tentu saja ditolak. Bahkan, dengan tegas Nabi Nuh menyatakan bahwa semua manusia itu sama. Kaya dan miskin tak berbeda. Perbedaan hanya ditentukan oleh ketaatan, bukan oleh kekayaan. Allah tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan harta.
"Hai, orang-orang dungu, enyahlah! Kalian tidak pantas tinggal bersama kami." Demikian, orang-orang beriman diteriaki.
Tak ada lagi harapan. Kesabaran juga ada batasnya, kesesatan orang-orang Armenia sudah kelewat batas. Hati mereka seperti gelas tertelungkup. Nasihat apa pun tak bisa masuk. Mereka telah diperbudak hawa nafsu. Bisikan-bisikan setan lebih didengar daripada seruan Nabi Nuh.
Harapan tinggal harapan, usaha pun sudah maksimal. Pengikut Nabi Nuh hanya itu-itu juga. Tak ada lagi penduduk Armenia yang beriman. Selebihnya, terserah kepada Sang Pencipta. Nabi Nuh tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya saja, ia merasa kasihan kepada para pengikutnya. Diteriaki, diusir, dan disakiti. Maka, ia berdoa kepada Allah.
"Ya, Allah, habisi saja orang-orang kafir itu. Jangan biarkan seorang pun hidup. Sebab, mereka terus mengganggu. Mereka akan terus berusaha menyesatkan hamba-hamba-Mu. Mereka juga hanya akan melahirkan anak-anak durhaka seperti mereka."
Doa seorang Nabi sungguh manjur. Allah mengabulkan permohonan Nabi Nuh. Tak lama kemudian, Malaikat Jibril datang dan menyuruh Nabi Nuh menanam sebuah pohon. Bukan sembarang pohon, melainkan benihnya berasal dari surga.
"Benih ini akan tumbuh menjadi pohon yang sangat besar. Sebelumnya, tidak ada pohon sebesar ini," kata Jibril menjelaskan.
Segera Nabi Nuh menanam benih itu. Beberapa tahun kemudian, pohon itu tumbuh. Makin lama makin besar dan tinggi. Orang-orang Armenia takjub. Pohon itu sungguh ajaib. Sejak pohon itu tumbuh, tak ada satu pun bayi yang lahir. Benar-benar menakjubkan. Jibril datang kembali, ada pesan lagi. Pohon itu harus ditebang. Nabi Nuh harus membuat perahu. Orang-orang beriman dikumpulkan. Titah Allah disampaikan. Namun, mereka masih bingung. Seperti apa bentuk perahu itu? Bagaimana membuatnya?
Akhirnya, petunjuk Allah datang jua. Mulailah para pengikut Nabi Nuh bekerja. Semua sibuk bergotong royong, bahu membahu, tak seorang pun berleha-leha. Rancangan perahu dibuat. Pohon besar itu ditebang. Papan-papan besar dijejerkan. Satu per satu papan-papan itu dipasang. Perlahan, tapi pasi, perahu hampir jadi. Perkerjaan mereka bukan tanpa masalah. Gangguan selalu saja ada setiap hari dari orang-orang kafir. Cemoohan dan hinaan datang silih berganti.
"Lihat, orang-orang bodoh itu! Sedang apa mereka?" teriak seseorang.
"Katanya, sedang membuat perahu," yang lain menimpali.
"Hah, membuat perahu? Untuk apa? Di sini nggak ada air, Bung. Memang perahu bisa melaju di darat?"
"Bisa, asalkan didorong oleh orang-orang dungu itu!"
"Hahaha..."
Cemoohan itu bukan sekali dua kali. Setiap hari, ada saja mulut orang kafir yang usil. Tentu saja, orang-orang yang sedang membuat perahu itu terganggu. Telinga mereka panas juga. Perasaan dongkol, kesal, dan mengkal mulai muncul. Melihat itu, Nabi Nuh berusaha menghibur. Bahkan, suatu ketika ejekan itu dibalasnya.
"Sekarang, kalian menghina. Tak lama lagi, kalian akan menyesal. Tunggulah azab Allah. Ingat, kalian akan menyesal! Kalian pasti binasa"
Orang-orang kafir itu tertawa. Dengan sinis, mereka berkata, Ayo datangkan saja azab itu. Jangan ditunda-tunda, siapa takut?"
"Hai, Nuh, sejak kapan kamu jadi tukang kayu. Ganti pekerjaan ya? Katanya Nabi, sekarang...ehh...malah jadi tukang perahu," ejek seseorang.
"Bisa saja kalau penumpangnya orang-orang gila. Atau mungkin, nanti ada angin besar. Lalu, perahu Nabi Nuh terbawa ke laut," jawab yang lain.
"Segeralah berkemas! Kumpulkan orang-orang beriman. Jangan lupa hewan-hewan. Masing-masing bawa sepasang, jantan dan betina."
Semua orang beriman sibuk.
Barang-barang bawaan sudah dinaikkan. Begitu saja, hewan-hewan. Perahu penuh dengan muatan, terakhir giliran orang-orang beriman. Mereka bergegas naik ke perahu. Orang-orang kafir terus saja mengolok-olok. Tak bosan-bosannya, mereka mencela.
"Hahaha..., orang-orang sinting itu mau berlayar ke mana? Ini daratan, bukan lautan," mereka tertawa terbahak-bahak.
Tanpa disadari, langit mulai mendung. Awan hitam bergumpal-gumpal. Makin lama, makin besar. Suara angin menderu-deru. Petir berkilat menyilaukan. Terdengar guruh menggelegar. Keadaan benar-benar mengerikan.
Tak lama berselang, hujan turun sangat lebat air mengguyur bumi. Tak hanya hujan, mata air juga bermunculan memancar di mana-mana. Dan bumi pun digenangi air. Makin lama, makin tinggi. Air bah melanda negeri. Banjir bandang menyapu kota. Bahkan, gunung-gunung pun terendam. Tak ada lagi tempat berlindung.
Perahu Nuh mulai bergerak. Dengan iringan Bismillah majraha wa mursaha berlayarlah kapal Nabi Nuh. Gelombang menggoyang. Angin kencang menerpa. Sementara itu, di sana-sini banyak orang berenang. Orang-orang kafir berenang melawan gelombang. Bergelut melawan maut. Akan tetapi, tak lama mereka bertahan. Tenaga habis terkuras. Napas mereka megap-megap. Lalu, ombak datang bergulung-gulung. Setinggi gunung, satu per satu orang-orang kafir itu tenggelam.
"Anakku, kemarilah! Ikutlah bersama Ayah. Segeralah bertobat! Hanya itu yang bisa membuatmu selamat!"
Kan'an benar-benar durhaka. Keras kepala dan sombong. Dengan pongah, ia menampik tawaran sang ayah.
"Tidak! Enyahlah dariku! Berlayarlah sejauh mungkin! Aku tidak sudi pergi bersamamu! Aku akan mencari tempat yang paling aman. Aku akan terus naik. Aku akan berlindung di atas bukit ini," teriak Kan'an.
"Anakku, tak ada lagi tempat berlindung. Bukit itu juga akan tenggelam. Ayolah, nak! Naiklah ke perahu," Nabi Nuh membujuk sekali lagi.
Belum kering ucapannya, gelombang datang. Kan'an digulung gelombang. Tubuhnya timbul tenggelam. Napasnya ngos-ngosan. Sampai akhirnya, tubuh Kan'an tak kelihatan lagi. Tenggelam. Nabi Nuh sangat bersedih. Matanya berkaca-kaca. Bagaimana tidak, baru saja ia menyaksikan kematian Kan'an. Kenapa putranya harus mati sebagai orang kafir?
"Tuhan, Kan'an itu anakku. Dia itu darah dagingku. Dia adalah bagian keluargaku," ujar Nabi Nuh.
"Hai, Nuh, Kan'an bukan keluargamu. Dia telah menolak seruanmu. Berarti, dia termasuk golongan kafir. Jangan berduka. Keluargamu hanyalah orang-orang yang mengikutimu. Mereka itulah yang akan diselamatkan. Tak usah kau pertanyakan perihal orang-orang durhaka itu."
Nabi Nuh pun sadar. Teguran Allah telah mengingatkannya. Rasa sayang kepada Kan'an telah membuatnya lupa. Lupa bahwa hukuman berlaku untuk semua orang kafir termasuk anaknya.
"Ya Allah, Aku berlindung kepada Engkau dari godaan setan yang terlaknat. Sudilah Engkau mengampuni kesalahanku. Jika Engkau tak berkenan memberi ampunan, niscaya aku termasuk orang yang malang," Nuh memanjatkan doa.
Akhirnya, badai mereda. Hujan berhenti. Air meresap ke dalam tanah. Perahu bertambat di atas sebuah bukit. Bukit Judi, namanya.
Langit mulai cerah, matahari menerangi bumi. Debit air telah menyusut. Nuh dan para pengikutnya turun dari perahu. Saat itu, bertepatan dengan sepuluh Muharram.
Keselamatan, kesejahteraan, dan keberkahan menyertai orang-orang beriman. Kini, mereka memulai hidup baru. Bulan berganti bulan. Tahun demi tahun, datang silih berganti. Orang-orang beriman beranak-pinak. Penghuni bumi terus bertambah. Keturunan Nuh pun menyebar.
Demikianlah uraian tentang Kisah Nabi Nuh AS dan Perahu Penyelamat, semoga bermanfaat.
Referensi:
Penduduk Armenia benar-benar telah sesat. Mereka sudah jauh menyimpang dari ajaran Nabi Idris. Lebih parah lagi, penduduk Armenia asyik dalam perbuatan syirik. Mereka tidak lagi beribadah kepada Allah. Tuhan mereka telah berganti menjadi patung-patung yang bernama Wadd, Suwa, Yagust, Yatuq, dan Nasr. Demikian, nama patung-patung itu. Penduduk Armenia percaya, patung-patung itu bisa memberi kebaikan. Patung-patung itu bisa menolak keburukan. Sungguh bodoh memang menjadi penyembah patung. Tak ada patung yang bisa bicara, apalagi memberi. Lucunya, patung-patung itu dibuat oleh mereka sendiri. Mestinya, yang membuat itu lebih mulia daripada yang dibuat.
Nabi Nuh Dihina dan Dicemooh
Nabi Nuh berdakwah untuk meluruskan berbagai penyimpangan yang banyak terjadi. Beliau mengajak kaumnya ke jalan yang benar. "Saudara-saudara, aku ini rasul Allah. Aku diutus untuk mengingatkan kalian. Tinggalkan patung-patung itu! Beribadahlah kepada Allah! Dialah Tuhan Yang Maha Esa," demikian, Nuh menyeru kaumnya. "Yang Maha Esa? Nggak salah nih? Kami punya banyak Tuhan. Tuhan-tuhan ini yang telah memberi kami kesenangan. Masa kami harus berpaling ke lain Tuhan. Yang benar saja!""Siapa yang membuat patung-patung itu?"
"Jelas kami dong"
"Mana yang lebih baik, yang membuat atau yang dibuat? Mana yang lebih mulia, patung atau manusia? Patung-patung tidak bisa berbuat apa-apa. Jangankan memberi, bergerak saja tidak bisa."
"Kami hanya mengikuti para leluhur. Mereka telah melakukan ini bertahun-tahun. Buktinya, mereka hidup makmur. Mereka bisa kaya raya."
"Allah adalah Penguasa alam semesta. Perhatikan langit, matahari, bumi, bulan, bintang, air, hewan, dan tumbuhan. Semua diciptakan-Nya. Patung-patung itu tidak bisa menciptakan. Patung-patung itu ada sesudah alam ini ada."
"Hai, Nuh, jangan sok pintar! Kamu ini nggak ada apa-apanya. Harta tak seberapa. Pengikut kamu juga hanya orang-orang miskin," teriak seseorang dengan berang.
"Jangan menggurui! Kami tak butuh nasihat! Kami tahu apa yang harus kami lakukan. Jadi, nggak usah berlagak di depan kami," tambah yang lain.
"Hai, Nuh," kata seseorang, "jangan sok suci! Kamu hanya manusia biasa, sama seperti kami. Kamu makan, kami juga makan. Lalu, apa kelebihan kamu? Mestinya, yang diutus itu malaikat, bukan kamu."
Dengan sabar, Nabi Nuh menjawab, "Saudara-saudara, harta bukan tolak ukur kemuliaan. Buat apa kaya kalau jahat."
"Dasar gila! Rupanya, Nuh ini sudah tidak waras," ucap seseorang. Jari tangannya menyumbat telinga. Yang lain menutup baju ke muka. Mereka tidak mau lagi mendengar omongan Nabi Nuh.
"Aku hanya menyampaikan peringatan. Sadarlah! Kembalilah ke jalan yang benar. Jika tidak, kalian pasti mendapat hukuman di dunia. Belum lagi, siksaan di akhirat kelak."
"Hai, Nuh, Jangan mengoceh saja! Datangkan saja azab itu. Kami tidak takut, kok."
"Aku hanya seorang rasul. Tugasku hanya menyampaikan. Selebihnya terserah kalian. Jika berkeras kepala, Allah akan menghukum kalian. Hanya Dia yang berkuasa menimpakan siksaan."
Pengikut Nabi Nuh
Pernah beberapa pembesar menemui Nabi Nuh. Mereka mau beriman, tapi dengan satu syarat. Nabi Nuh harus mengusir orang-orang miskin yang menjadi pengikutnya. Alasannya, orang-orang miskin itu tidak selevel dengan mereka. Masa mereka harus bergaul dengan orang-orang kumuh. Tawaran itu tentu saja ditolak. Bahkan, dengan tegas Nabi Nuh menyatakan bahwa semua manusia itu sama. Kaya dan miskin tak berbeda. Perbedaan hanya ditentukan oleh ketaatan, bukan oleh kekayaan. Allah tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan harta.
Perahu Nabi Nuh
Tidak hanya hinaan yang diterima Nabi Nuh, namun kekerasan pun sering dialaminya. Suatu ketika Nabi Nuh dan para pengikutnya diusir. Mereka dilempari batu."Hai, orang-orang dungu, enyahlah! Kalian tidak pantas tinggal bersama kami." Demikian, orang-orang beriman diteriaki.
Tak ada lagi harapan. Kesabaran juga ada batasnya, kesesatan orang-orang Armenia sudah kelewat batas. Hati mereka seperti gelas tertelungkup. Nasihat apa pun tak bisa masuk. Mereka telah diperbudak hawa nafsu. Bisikan-bisikan setan lebih didengar daripada seruan Nabi Nuh.
Harapan tinggal harapan, usaha pun sudah maksimal. Pengikut Nabi Nuh hanya itu-itu juga. Tak ada lagi penduduk Armenia yang beriman. Selebihnya, terserah kepada Sang Pencipta. Nabi Nuh tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya saja, ia merasa kasihan kepada para pengikutnya. Diteriaki, diusir, dan disakiti. Maka, ia berdoa kepada Allah.
"Ya, Allah, habisi saja orang-orang kafir itu. Jangan biarkan seorang pun hidup. Sebab, mereka terus mengganggu. Mereka akan terus berusaha menyesatkan hamba-hamba-Mu. Mereka juga hanya akan melahirkan anak-anak durhaka seperti mereka."
Doa seorang Nabi sungguh manjur. Allah mengabulkan permohonan Nabi Nuh. Tak lama kemudian, Malaikat Jibril datang dan menyuruh Nabi Nuh menanam sebuah pohon. Bukan sembarang pohon, melainkan benihnya berasal dari surga.
"Benih ini akan tumbuh menjadi pohon yang sangat besar. Sebelumnya, tidak ada pohon sebesar ini," kata Jibril menjelaskan.
Segera Nabi Nuh menanam benih itu. Beberapa tahun kemudian, pohon itu tumbuh. Makin lama makin besar dan tinggi. Orang-orang Armenia takjub. Pohon itu sungguh ajaib. Sejak pohon itu tumbuh, tak ada satu pun bayi yang lahir. Benar-benar menakjubkan. Jibril datang kembali, ada pesan lagi. Pohon itu harus ditebang. Nabi Nuh harus membuat perahu. Orang-orang beriman dikumpulkan. Titah Allah disampaikan. Namun, mereka masih bingung. Seperti apa bentuk perahu itu? Bagaimana membuatnya?
Akhirnya, petunjuk Allah datang jua. Mulailah para pengikut Nabi Nuh bekerja. Semua sibuk bergotong royong, bahu membahu, tak seorang pun berleha-leha. Rancangan perahu dibuat. Pohon besar itu ditebang. Papan-papan besar dijejerkan. Satu per satu papan-papan itu dipasang. Perlahan, tapi pasi, perahu hampir jadi. Perkerjaan mereka bukan tanpa masalah. Gangguan selalu saja ada setiap hari dari orang-orang kafir. Cemoohan dan hinaan datang silih berganti.
"Lihat, orang-orang bodoh itu! Sedang apa mereka?" teriak seseorang.
"Katanya, sedang membuat perahu," yang lain menimpali.
"Hah, membuat perahu? Untuk apa? Di sini nggak ada air, Bung. Memang perahu bisa melaju di darat?"
"Bisa, asalkan didorong oleh orang-orang dungu itu!"
"Hahaha..."
Cemoohan itu bukan sekali dua kali. Setiap hari, ada saja mulut orang kafir yang usil. Tentu saja, orang-orang yang sedang membuat perahu itu terganggu. Telinga mereka panas juga. Perasaan dongkol, kesal, dan mengkal mulai muncul. Melihat itu, Nabi Nuh berusaha menghibur. Bahkan, suatu ketika ejekan itu dibalasnya.
"Sekarang, kalian menghina. Tak lama lagi, kalian akan menyesal. Tunggulah azab Allah. Ingat, kalian akan menyesal! Kalian pasti binasa"
Orang-orang kafir itu tertawa. Dengan sinis, mereka berkata, Ayo datangkan saja azab itu. Jangan ditunda-tunda, siapa takut?"
"Hai, Nuh, sejak kapan kamu jadi tukang kayu. Ganti pekerjaan ya? Katanya Nabi, sekarang...ehh...malah jadi tukang perahu," ejek seseorang.
"Bisa saja kalau penumpangnya orang-orang gila. Atau mungkin, nanti ada angin besar. Lalu, perahu Nabi Nuh terbawa ke laut," jawab yang lain.
Banjir Besar Menenggelamkan Bumi
Kesabaran selalu membuahkan hasil. Kerja keras tidaklah sia-sia. Perahu telah jadi, sebuah perahu yang sangat besar. Dan ini merupakan perahu pertama di dunia. Tak lama kemudian, Nabi Nuh menerima wahyu."Segeralah berkemas! Kumpulkan orang-orang beriman. Jangan lupa hewan-hewan. Masing-masing bawa sepasang, jantan dan betina."
Semua orang beriman sibuk.
Barang-barang bawaan sudah dinaikkan. Begitu saja, hewan-hewan. Perahu penuh dengan muatan, terakhir giliran orang-orang beriman. Mereka bergegas naik ke perahu. Orang-orang kafir terus saja mengolok-olok. Tak bosan-bosannya, mereka mencela.
"Hahaha..., orang-orang sinting itu mau berlayar ke mana? Ini daratan, bukan lautan," mereka tertawa terbahak-bahak.
Tanpa disadari, langit mulai mendung. Awan hitam bergumpal-gumpal. Makin lama, makin besar. Suara angin menderu-deru. Petir berkilat menyilaukan. Terdengar guruh menggelegar. Keadaan benar-benar mengerikan.
Tak lama berselang, hujan turun sangat lebat air mengguyur bumi. Tak hanya hujan, mata air juga bermunculan memancar di mana-mana. Dan bumi pun digenangi air. Makin lama, makin tinggi. Air bah melanda negeri. Banjir bandang menyapu kota. Bahkan, gunung-gunung pun terendam. Tak ada lagi tempat berlindung.
Perahu Nuh mulai bergerak. Dengan iringan Bismillah majraha wa mursaha berlayarlah kapal Nabi Nuh. Gelombang menggoyang. Angin kencang menerpa. Sementara itu, di sana-sini banyak orang berenang. Orang-orang kafir berenang melawan gelombang. Bergelut melawan maut. Akan tetapi, tak lama mereka bertahan. Tenaga habis terkuras. Napas mereka megap-megap. Lalu, ombak datang bergulung-gulung. Setinggi gunung, satu per satu orang-orang kafir itu tenggelam.
Anak Nabi Nuh ikut Binasa
Nabi Nuh ke geladak perahu. Badai semakin besar, cuaca bertambah kelam. Kadang terlihat tubuh orang-orang kafir mengambang. Diseret arus yang sangat deras. Lolongan minta tolong begitu menyayat. Namun, air bah tak kenal ampun, semua dibabat habis. Tiba-tiba, Nabi Nuh melihat seorang pemuda. Ia tengah menaiki sebuah bukit. Napasnya tersengal-sengal, ketakutan tampak pada wajahnya. Ternyata, Kan'an, anaknya sendiri. Timbulah perasaan iba, bagaimanapun juga Kan'an adalah anak kandungnya. Serta merta Nabi Nuh memanggil-manggil anaknya. Sekuat tenaga ia berteriak."Anakku, kemarilah! Ikutlah bersama Ayah. Segeralah bertobat! Hanya itu yang bisa membuatmu selamat!"
Kan'an benar-benar durhaka. Keras kepala dan sombong. Dengan pongah, ia menampik tawaran sang ayah.
"Tidak! Enyahlah dariku! Berlayarlah sejauh mungkin! Aku tidak sudi pergi bersamamu! Aku akan mencari tempat yang paling aman. Aku akan terus naik. Aku akan berlindung di atas bukit ini," teriak Kan'an.
"Anakku, tak ada lagi tempat berlindung. Bukit itu juga akan tenggelam. Ayolah, nak! Naiklah ke perahu," Nabi Nuh membujuk sekali lagi.
Belum kering ucapannya, gelombang datang. Kan'an digulung gelombang. Tubuhnya timbul tenggelam. Napasnya ngos-ngosan. Sampai akhirnya, tubuh Kan'an tak kelihatan lagi. Tenggelam. Nabi Nuh sangat bersedih. Matanya berkaca-kaca. Bagaimana tidak, baru saja ia menyaksikan kematian Kan'an. Kenapa putranya harus mati sebagai orang kafir?
"Tuhan, Kan'an itu anakku. Dia itu darah dagingku. Dia adalah bagian keluargaku," ujar Nabi Nuh.
"Hai, Nuh, Kan'an bukan keluargamu. Dia telah menolak seruanmu. Berarti, dia termasuk golongan kafir. Jangan berduka. Keluargamu hanyalah orang-orang yang mengikutimu. Mereka itulah yang akan diselamatkan. Tak usah kau pertanyakan perihal orang-orang durhaka itu."
Nabi Nuh pun sadar. Teguran Allah telah mengingatkannya. Rasa sayang kepada Kan'an telah membuatnya lupa. Lupa bahwa hukuman berlaku untuk semua orang kafir termasuk anaknya.
"Ya Allah, Aku berlindung kepada Engkau dari godaan setan yang terlaknat. Sudilah Engkau mengampuni kesalahanku. Jika Engkau tak berkenan memberi ampunan, niscaya aku termasuk orang yang malang," Nuh memanjatkan doa.
Akhirnya, badai mereda. Hujan berhenti. Air meresap ke dalam tanah. Perahu bertambat di atas sebuah bukit. Bukit Judi, namanya.
Langit mulai cerah, matahari menerangi bumi. Debit air telah menyusut. Nuh dan para pengikutnya turun dari perahu. Saat itu, bertepatan dengan sepuluh Muharram.
Keselamatan, kesejahteraan, dan keberkahan menyertai orang-orang beriman. Kini, mereka memulai hidup baru. Bulan berganti bulan. Tahun demi tahun, datang silih berganti. Orang-orang beriman beranak-pinak. Penghuni bumi terus bertambah. Keturunan Nuh pun menyebar.
Demikianlah uraian tentang Kisah Nabi Nuh AS dan Perahu Penyelamat, semoga bermanfaat.
Referensi:
- Alfarisi, M Zaka. 2007. Kisah Seru 25 Nabi & Rasul. Bandung: Mizan.
boleh saya izin shared?
ReplyDelete